•6/25/2010

Lie Charlie*

 

PARA siswa-siswi sekolah menengah atas mengaku pelajaran bahasa Indonesia dalam ujian nasional 2010 adalah ujian yang paling sulit. Keluhan manja remajakah? Kita baru percaya saat menyadari bahwa bahasa Indo­nesia dapat diujikan dalam bentuk-bentuk soal sebagai berikut: 1. Contoh kata ulang  dwilingga  salin suara ialah: a. bebek-bebek, b. tanam-tanaman, c. gerak-gerik, d. gunung-gemunung, e. tuduh-menuduh. Coba pembaca menjawab pertanyaan tersebut. Tidak bisa? Bukankah hampir semua pembaca pandai berbahasa Indonesia dan lulus SMA?

Coba lagi jawab pertanyaan ini: 2. Kata purbakala termasuk kata majemuk: a. dwandawa, b. tatpurusa c. karmadharaya, d. bahuvrihi. Tidak bisa? Bahkan menebak pun tak sanggup? Coba satu pertanyaan lagi: 3. Ungkapan "melihat dengan mata kepala sendiri" termasuk gaya bahasa: a. alusi, b. pleonasme, c. tautologi, d. eponim, e. antonomasia. Menyerah? Kalau begitu, pembaca juga tidak bakal lulus UN.

"Bagaimana mau lulus? Orang yang menyusun pertanyaannya adalah sekaligus perancang TTS (teka-teki silang)!" keluh Pak Samin, sebut saja namanya begitu, guru bahasa Indo­nesia yang semua anak asuhnya tak lulus UN, dengan berang. Pak Samin boleh kecewa, tapi ia juga mesti tahu, ada cukup banyak siswa-siswi lulus, yakni mereka yang rajin menghafal, bukan memahami.

Biasanya materi ujian dilengkapi pula dengan sebuah wacana, sebuah cerita. Lantas lazim ditanyakan temanya, tokoh utamanya, dan alurnya. Apa pun jawaban Joko, ia bisa salah. Wajar saja, karena semua siswa-siswi bebas menafsirkan. Me­reka diminta membaca dan memberikan pendapat, tapi jawaban mereka bisa dinilai salah. "Tokoh utamanya Diponegoro!" jawab Siti yakin, sedangkan menurut penyusun soal, jawaban yang benar adalah Sentot Alibasya.

Bahasa Indonesia bukan ilmu pasti, sehingga pola ujian pilihan ganda kurang cocok untuk diterapkan. Jika dipaksakan, soal-soal akan menjadi seolah-olah sukar, seperti terbukti dari contoh-contoh di atas. Akhirnya hanya siswa-siswi berdaya ingat kuat dan sering membaca yang bisa lulus. Mereka yang kreatif dan memiliki imajinasi mungkin cuma meraih angka lima untuk bahasa In­donesia dan gagal dalam UN.

Nilai siswa-siswi untuk mata pelajaran bahasa Inggris, umpamanya, rata-rata malah lebih bagus dibandingkan dengan bahasa Indone­sia, karena tata kalimat bahasa Ing­gris mengenal pola baku yang tidak bisa-tidak harus ditaati. Menyusun dan menjawab pertanyaan ujian bahasa Inggris, dengan demikian, justru menjadi lebih "mudah" karena pasti. Jawaban untuk melengkapi kalimat, contohnya: I ... TV, when she came, adalah was watching; ti­dak bisa watch, watched, is watch­ing, atau have watched.

Meramu dan menjawab soal-soal ilmu pasti juga tak membingungkan, karena jawaban yang benar hanya ada satu. Pertanyaan: hitunglah x, jika x2 + 2x + 3 = 27, pasti bermuara pada jawaban x = +/-4. Jawaban selain +/-4 pasti salah. Udin yang men­jawab +/-5 atau Ririn yang memilih x = +/-6 pasti tidak punya alasan bahwa "pilihan jawabannya mirip-mirip, sih!" Bahkan pelajaran ilmu-ilmu sosial semacam geografi, ekonomi, sejarah, atau ilmu pengetahuan sosial pun kalah rumit dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Nama ibu kota Mongolia, makna inflasi, tahun berdirinya VOC, atau tempat pengasahan batu mulia di Kalimantan, semua dapat dijawab dengan pasti jika siswa-siswi belajar sungguh-sungguh.

Menghafal memang tidak sulit. Apabila ujian bahasa Indonesia mensyaratkan siswa-siswi meng­hafal agar bisa lulus, siswa sering menghafal sebagai jalan keluar pintas yang pragmatis. Apakah fonem, morfem, dan majas? Semua itu dapat dihafal dan dipahami. Masalahnya, siswa-siswi SMA pada masa me­reka masing-masing lazimnya merasa tertekan bila diminta mengha­fal dan memahami pelajaran bahasa Indonesia.

Siswa-siswi juga mengira tidak ada faedahnya capek-capek bela­jar bahasa Indonesia, apalagi materi yang dipelajari itu banyak yang ti­dak realistis. Dalam pemikiran me­reka pun: memangnya kalau bahasa Indonesia dapat nilai 10, kita bisa apa? Apa pula urgensinya memperhitungkan nilai ujian bahasa Indo­nesia sebagai syarat lulus UN? Ha­rus ditemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini untuk memotivasi siswa-siswi menekuni bahasa Indonesia.

Salah satu cara terbaik menguji penguasaan bahasa seseorang adalah dengan memintanya menulis krea­tif (atau dikenal sebagai pelajaran mengarang) dalam bahasa tersebut. Ujian bahasa Indonesia paling tepat jika diselenggarakan dalam bentuk menulis karangan dan berbicara. Teori-teori boleh saja diajarkan dan diuji. tapi jangan menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Sebagusnya, 50 persen nilai ujian diambil dari mengarang dan berbicara. Guru—apa boleh buat—terpaksa meluangkan waktu memeriksa hasil karya kreatif siswa-siswi dan mengawasi percakapan mereka.

Memeriksa dan menilai sebuah karya tulisan kreatif memang bersifat subyektif dan para guru yang diberi tanggung jawab memeriksa tu­lisan itu harus memiliki referensi karya sastra yang luas. Jika isi tu­lisan itu menggunakan bahasa In­donesia seperti ini: "Eh, elo tau gak sih, kemaren gue nyamperin nenek gue geto. Tengsin juga sih, dikirain gue nyari muke, padahal gue disuruh ame nyokap..." sang guru sudah tahu apa rekomendasi kelulusan sang siswa atau siswi.

 

 

 

*) Sarjana tata bahasa Indonesia, Universitas Padjadjaran, Bandung

Sumber : Majalah Tempo, Edisi 21 – 27 Juni 2010

 

endang mushaffa

|
This entry was posted on 6/25/2010 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: