•6/25/2010

Setyadi Setyapranata*

 

EMBRYO sama dengan fetus?" kata Ami, murid kelas III sekolah menengah pertama. Dari buku modul biologi bi­lingual, dia tahu bahwa embryo berbeda dengan fetus. Fetus adalah tahap perkembangan sesudah embryo. Dalam konsep biologi, perbedaan ini tidak boleh diabaikan. Namun, da­lam diktat terjemahan, baik embryo maupim fetus diterjemahkan menjadi "janin".

Itulah salah satu contoh titik polemik di antara dua "aliran" penerjemah profesional. Kedua aliran ini sepintas memiliki visi yang sama, yaitu memodernkan bahasa Indone­sia, tapi pendekatan mereka berbeda. Untuk padanan istilah asing, aliran pertama adalah aliran yang berupaya menggali khazanah bahasa Indonesia. Adapun menurut aliran ke­dua, mengindonesiakan istilah ada­lah upaya yang mubazir, bahkan bisa menyesatkan; istilah yang sudah luas dikenal dan dipahami semacam ini cukup diserap dengan penyesuaian seperlunya atau dipungut saja, misalnya embrio dan fetus. Melihat kasus penggunaan kata "janin" ini, terlihat bahwa penerjemahan bisa me­nyesatkan.

Mari kita lihat kasus pengindonesiaan istilah supply. Kata ini biasa diserap menjadi "suplai"  saja, sedangkan para profesional berpengalaman mencoba mencari padanan kata Indonesia dengan istilah ber­beda untuk bidang masing-masing sehingga makna konsepnya menjadi jelas. Di bidang fisika, power sup­ply menjadi "catu daya", sedangkan di bidang ilmu ekonomi kata supply dan demand menjadi hukum "penawaran dan permintaan", di bisnis jadi "pasokan", dan di manajemen jadi "bekalan".

Pada kasus lain, penggunaan isti­lah asing dalam bentuk aslinya me­miliki segi positif dan negatif, seperti dituturkan oleh seorang kepala sekolah menengah negeri di Suraba­ya yang sekolahnya menerapkan program dwibahasa untuk mata pelajaran sains. Dibandingkan dengan murid di kelas reguler, murid di ke­las dwibahasa ternyata lebih mudah menangkap materi pelajaran yang diberikan dalam bahasa Inggris. Na­mun, dengan agak kecewa, sang ke­pala sekolah menuturkan bahwa banyak muridnya kurang berhasil da­lam ujian nasional gara-gara soal ujiannya ditulis dalam bahasa Indo­nesia, lengkap dengan istilah sainsnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga menjadi asing. Moda pengindonesiaan seperti supply tadi sebenarnya su­dah berkembang di masyarakat. Pe­nerjemahan ke da­lam bahasa Indo­nesia yang telah diterima dengan baik semacam itu dilakukan tidak semata-mata atau demi kemajuan bahasa nasio­nal seperti visi dua aliran tadi, tapi juga terdorong oleh tuntutan teknis profesi. Banyak isti­lah asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang lahir bukan dari penerjemah atau ahli bahasa, melainkan dari tokoh profe­sional di bidangnya yang menyadari pentingnya penerjemahan berdasar konsep (concept-based translation), bukan berdasarkan bentuk linguistik (form-based). Contohnya, super­market tidak diterjemahkan "pasar super", tapi "pasar swalayan" sesuai dengan makna konsepnya; line offi­cer menjadi "perwira lapangan", bu­kan "perwira garis"; container menjadi "peti kemas", dan "padat karya" untuk labor intensive.

Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak tokoh profesio­nal mengindonesiakan istilah untuk menghindari kerancuan dua kata yang mirip arti atau bentuknya tapi sangat berbeda makna konsepnya. Di bidang statistika, misalnya, tercipta istilah "rerata" dan "rataan" untuk average dan mean, yang sebelumnya secara keliru sering diterjemahkan "rata-rata"; di fisika ada "bahang" dan "panas" untuk heat dan hot; di kedokteran ada "sakit" dan "nyeri"; di kelistrikan ada "daya" dan "gaya"; dan di bidang hukum ada "selidik" dan "sidik".

Dalam hal penciptaan is­tilah, pantas dicatat nama para profesional nonbahasa yang mungkin tanpa sengaja telah menyumbang kemajuan bahasa Indo­nesia, misalnya Herman Johannes (sipil), Mahar Mardjono (kedokteran), Purbo Hadiwidjojo (geologi), Adjat Sakri dan Sudjoko (seni rupa), Sofia Mansoor (farmasi), Liek Wilardjo (fisika), serta Mien A. Rifai (biologi). Sementara itu, masih banyak orang memaksakan diri menggunakan is­tilah serapan meskipun pemahaman maknanya patut diragukan. Misal­nya, seorang bupati mengatakan, "Korban gempa sudah diantisipasi dengan mengevakuasinya ke rumah sakit." Di samping itu, sering ada is­tilah yang menggelikan yang konon "asli Indonesia" semacam "jombrot" untuk bankrupt, "mujarad" untuk abstract, dan "tembolok" un­tuk cached.

*) Penerjemah., dosen Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang

 

Sumber : Majalah TEMPO, Edisi 14 - 20 Juni 2010

 

endang mushaffa

|
This entry was posted on 6/25/2010 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: