•6/28/2010

Oleh Agnes Swetta Pandia dan Nina Susilo

Di samping itu, ke-sempatan bekerja for-mal bagi para difabel amat terbatas. Apalagi, tak jarang para difabel pun mengalami diskri-minasi ganda. Serba keterbatasan para di-fabel itu menarik hati Titik Winarti untuk mem-bantu mereka man­diri.

la berusaha menyiapkan men­tal mereka, di sam-ping memberikan pela-tihan keterampilan dan kemampuan pemasaran. Sejak tahun 1999, se-kitar 470 orang difabel yang menjadi anak didiknya telah mandiri. Mereka mampu mem-buka usaha kerajinan tangan dan mengembangkannya di kampung asal masing-masing.

Apa yang membuat hatinya tergerak? Anik Puji Lestari (40) yang tunarungu, misalnya, memilih bekerja di rumah Titik setiap hari. Rupanya, perempuan berkacamata yang tinggal di Su­rabaya itu sering dipukuli oleh suaminya. Dengan bekerja, tak hanya penghasilan yang dia peroleh, tetapi juga menjauhkan dirinya dari kekerasan dalam rumah tangga.

Berbagai masalah para difabel, seperti dialami Anik, itulah yang membuat Titik berusaha mem­bantu mereka. la membuka rumahnya untuk difabel. Sebanyak 35-40 orang difabel dari sejumlah daerah di Jatim mengisi rumahnya meskipun rumah itu relatif sempit bagi mereka karena luas tanahnya hanya sekitar 200 meter persegi.

Keterbatasan sarana itu pula yang membuat dia tak bisa menampung semua difabel yang ingin belajar mandiri. Luas rumahnya terbatas sehingga para difabel terpaksa tinggal bersama keluarga Titik di rumah itu.

"Setiap kali ada difabel yang sudah mandiri dan pindah atau kembali ke kampungnya, baru saya bisa menerima difabel ba­ru untuk dilatih," kata Titik yang pada 1998 membuat usa­ha kerajinan tangan berbendera Tiara Handicraft.

Usaha kerajinan tangan itu menghasilkan, antara lain, tas perca, berbagai cendera mata dan keperluan rumah tangga berbahan baku kain. Modal awal Rp 500.000 diperoleh Titik dari meminjam pada Koperasi Setia Bhakti Wanita.

Satu-dua tahun setelah usahanya berjalan, beberapa penyandang tunadaksa datang ke rumahnya. Mereka minta diberi pekerjaan karena kesulitan mendapat penghasilan. la tak kuasa menolak mereka Maka, dari dua-tiga orang difabel, lalu puluhan difabel ada di rumahnya.

"Saya tak bisa menampung le­bih banyak difabel, padahal ke­inginan mereka untuk mandiri besar. Rumah sekaligus bengkel kerja kami tak memadai," kata Titik yang sulit menolak orangtua mengantar anaknya yang difabel ke rumahnya.

Dua tahun

Mengajari difabel untuk man­diri bukan pekerjaan mudah. Ti­tik mengakui, dari puluhan difabel yang bekerja untuk Tiara Handicraft, hanya 35-40 persen yang hasilnya bisa memenuhi kualitas produk layak jual.

la lalu bercerita tentang tahapan pembelajaran yang diberlakukan untuk difabel. Pada masa awal, bagi mereka yang belum bisa mengurus diri sendiri, akan dilatih kemandiriannya dalam kebersihan diri, seperti mandi dan mencuci pakaian.

Biasanya, dalam dua pekan, pa­ra difabel mampu mengurus dirinya sendiri. "Pada masa awal ini, mereka biasanya dibantu sesama difabel," katanya.

Ketika Titik melihat difabel itu sudah siap menerima pelatihan, ia akan mengajari mereka keterampilan sesuai minat masing-masing, mulai dari menggambar pola sampai menjahit. Dari pengalamannya, rata-rata setelah sekitar dua tahun para difabel itu siap bekerja secara mandiri.

Titik tak menargetkan waktu bagi difabel untuk berlatih keterampilan di tempatnya. Dia menyerahkan sepenuhnya kesiapan untuk bekerja itu kepada setiap difabel.

"Kadang ada di antara mereka (difabel) yang kembali (bekerja di Tiara Handicraft) setelah keluar. Saya hanya membolehkan mereka untuk dua kali kembali. Saya ingin mereka benar-benar siap, terutama secara mental, sebelum memutuskan keluar," kata Titik yang menghabiskan tak kurang dari Rp 15 juta per bulan untuk biaya hidup dan menggaji para difabel.

Salah satu hal yang dilakukan Titik untuk menyiapkan mereka adalah mengajak para difabel se­cara aktif dalam setiap pameran yang diikuti Tiara Handicraft. "Ini untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka ketika harus membuka usaha sendiri."

Setelah mereka punya usaha sendiri pun, hubungan di antara Titik dan anak didiknya tak terputus. Bila sedang banyak pesanan, ia meminta mereka membantunya memenuhi pesanan itu.

Tetap mikro

Seiring berjalannya waktu, Ti­ara Handicraft makin berkembang. Tahun 2005 Titik mendapat penghargaan Microcredit Award dari pemerintah. Dia lalu diundang mengikuti pencanangan Tahun Internasional Kredit Mikro di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Jaringan pasar produknya pun semakin luas. Produk dari Tiara Handicraft dijual sampai ke Belanda, Amerika Serikat, Australia, dan Singapura. Kendati jaringannya meluas dan produksi meningkat, usaha kerajinan tangan ini tetap berlingkup mikro. Alasannya, margin keuntungan se­kitar 20-30 persen yang diperolehnya relatif habis untuk biaya operasional sehari-hari.

"Ketika ada keuntungan sedikit, uang itu dipakai untuk membiayai kebutuhan sehari-ha­ri difabel yang baru bergabung. Kondisi seperti ini berjalan terus-menerus," kata Titik.

Ia bercerita, sebuah lembaga manajemen perguruan tinggi di Jakarta pernah berusaha membantunya mengembangkan usa­ha. Di atas kertas, Tiara Han­dicraft bisa lepas dari usaha mik­ro, dengan "syarat" selama dua tahun Titik tidak menerima difa­bel baru.

"Ah, mereka bisa bicara begitu karena tak pernah langsung berhadapan dengan orangtua anak-anak itu ataupun para difa­bel," kata Titik, yang memilih tak mengikuti saran tersebut.

Untuk menghemat modal dan bertahan di tengah persaingan usaha, Titik juga menjadikan limbah kain sebagai bahan baku pro­duk Tiara Handicraft. Ia mendapatkan limbah itu, antara lain, dari Bali.

Titik mengakui, meski ingin usahanya lebih berkembang, dia tak mau tujuan memandirikan para difabel terpinggirkan. "Misi utama saya adalah bagaimana menjadikan anak-anak difabel bi­sa mandiri atau diterima pasar kerja," ujarnya.

 

 

Sumber : Kompas, 12 Juni 2010

 

endang mushaffa

|
This entry was posted on 6/28/2010 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: